Dalam praktik Cyber Counseling, etika profesional menjadi pondasi utama yang harus dijaga agar kepercayaan klien tetap terpelihara. Konseling secara daring membuka peluang baru, tetapi juga menimbulkan risiko baru, khususnya terkait keamanan informasi dan kerahasiaan klien. Oleh karena itu, setiap konselor wajib memahami dan menerapkan prinsip etika secara konsisten, baik dalam konteks luring maupun daring.

Salah satu prinsip etika terpenting adalah menjaga kerahasiaan. Dalam Cyber Counseling, hal ini mencakup penggunaan perangkat lunak dan platform yang aman dan terenkripsi, tidak menggunakan jaringan Wi-Fi publik saat sesi berlangsung, serta memastikan bahwa percakapan tidak bisa diakses pihak ketiga. Klien juga harus diberi informasi awal mengenai bagaimana data mereka disimpan dan digunakan.
Selain kerahasiaan, transparansi dalam menjelaskan prosedur dan batasan layanan sangat penting. Konselor perlu menjelaskan durasi layanan, jadwal sesi, kebijakan pembatalan, serta bagaimana menangani situasi darurat. Klien juga harus diberikan informed consent atau persetujuan sadar sebelum sesi dimulai.
Etika lain yang harus diperhatikan adalah kompetensi profesional. Konselor tidak hanya harus mahir dalam pendekatan psikologis, tetapi juga memiliki kecakapan teknologi agar dapat mengelola sesi secara efektif. Misalnya, jika konselor tidak menguasai penggunaan aplikasi video call atau tidak memahami pengelolaan dokumen digital secara aman, maka integritas layanan dapat terganggu.
Dalam praktiknya, organisasi profesi seperti Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) atau Asosiasi Psikologi Islam (API) telah mengembangkan panduan etik untuk konseling daring. Konselor wajib mengikuti pedoman ini agar tetap profesional dan etis, sekaligus menjamin bahwa klien menerima layanan yang aman dan bermutu.